PREEKLAMPSIA
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum
dan merupakan salah satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain
perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas
dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah
diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan
kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang
berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah
akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamila.
Meskipun telah dilakukan
penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau
memperburuk kehamilan tetap
menjadi masalah yang belum
terpecahkan. Secara umum, preeklamsi
merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada
kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan
paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya
ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas,
umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.
Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi
dalam kehamilan berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah
efektif pada sirkulasi uteroplasental,
juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian
janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio
plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat
(IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan
kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya
hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Preeklampsia
Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila
dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan
kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi.
Pre-eklampsia adalah salah satu kasus gangguan
kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama
masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan
bayi.
Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan
terbagi atas pre-eklampsia ringan, preklampsia berat, eklampsia, serta
superimposed hipertensi (ibu hamil yang sebelum kehamilannya sudah memiliki
hipertensi dan hipertensi berlanjut selama kehamilan). Tanda dan gejala yang
terjadi serta tatalaksana yang dilakukan masing-masing penyakit di atas tidak
sama.
B.
Etiologi
Preeklampsia
Etiologi penyakit ini sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Secara teoritik urutan urutan gejala yang timbul
pada preeklamsi ialah edema, hipertensi, dan terakhir proteinuri. Sehingga bila
gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan diatas dapat dianggap bukan
preeklamsi.
Dari gejala tersebut timbur hipertensi
dan proteinuria merupakan gejala yang paling penting. Namun, penderita
serinhkali tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya
gangguan nyeri kepala, gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium, maka
penyakit ini sudah cukup lanjut.
C. Faktor
Risiko Preeklamsia
·
Kehamilan pertama
·
Riwayat keluarga dengan
pre-eklampsia atau eklampsia
·
Pre-eklampsia pada
kehamilan sebelumnya
·
Ibu hamil dengan usia
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
·
Wanita dengan gangguan
fungsi organ (diabetes, penyakit ginjal, migraine, dan tekanan darah tinggi)
·
Kehamilan kembar
D.
Gambaran Klinis
Preeklampsia
a.
Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal,
skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau
muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang
meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun
akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.
b.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan
tekanan sistolik 30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat
lebih dari 140/90mmHg. Tekanan darah pada preeklampsia berat meningkat lebih
dari 160/110 mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga
akan menemukan takikardia, takipnu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi
ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak.
E.
Patofisiologi
Preeklampsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh
vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami
peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,
tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan
trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai
dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar
dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes
fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular,
meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.
Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni.
Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat
bahkan kematian janin dalam rahim. Perubahan pada organ-organ:
1)
Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan
dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang
secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia
kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau
kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.
2)
Metabolisme
air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai
preeklampsia dan eklampsia tidak diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium
dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia dan eklampsia daripada
pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita
preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang
diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan
penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein
tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium,
natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal
3)
Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan
spasme pembuluh darah. Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan
oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan
terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preeklampsia berat yang
mengarah pada eklampsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan di
korteks serebri atau di dalam retina.
4)
Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya
ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut
dapat ditemukan perdarahan.
5)
Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan
oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklampsia sering terjadi
peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi
partus prematur.
6)
Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya disebabkan
oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya
aspirasi pneumonia, atau abses paru.
F.
Diagnosis Preeklampsia
Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan
pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu;
1)
Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
•
Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat
tekanan darah normal.
• Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau
2+ pada urine kateter atau midstream.
2)
Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
•
Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
•
Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
•
Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
•
Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
•
Terdapat edema paru dan sianosis
•
Trombositopeni
•
Gangguan fungsi hati
• Pertumbuhan janin terhambat
G.
Penatalaksanaan Preeklampsia
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu
persalinan merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi.
Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan,
penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap
kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam
penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau
terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu
dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi
penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak
memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.
Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan
beratnya preeklamsi, yaitu :
1.
Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan
untuk mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk
sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan
penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan solusio
plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini memerlukan observasi ketat
yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi tekanan darahnya setiap
4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes
fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada
pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time,
partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat
badan janin diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu.
Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan,
dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat
tekanan darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung
trombosit begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x
seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan
penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila
ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang
dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang
induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor
Bishop >6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada
pula yang tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan
muda. Saat ini tidak ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang
lama, penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah
baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari
tirah baring adalah mengurangi edema, peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan
ke arah preeklamsi berat, dan meningkatkan outcome
janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah melonjak
dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan,
tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat
janin dan karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan
yang tergantung vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan
bahwa tidak ada keuntungan tirah baring baik di rumah maupun di rumah sakit
walaupun tirah baring di rumah menurunkan lamanya waktu di rumah sakit. Sebuah
penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah eklamsi dan persalinan
prematur pada pasien yang tirah baring di rumah. Namun, tidak ada penelitian
yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian janin. Pada 10
penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita dengan preeklamsi
ringan menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap lamanya kehamilan,
pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm bervariasi antar
penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap
pengobatan preeklamsi ringan.
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2
kali dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif
memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis
untuk mengetahui rasio lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan
karena persalinan awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk
mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan
paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika
terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan
secara berkelanjutan karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi
uteroplasenter.
2.
Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah
mencegah konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan
persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi
di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi
bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36
minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik.
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk
dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh
karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia
kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan,
atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34
minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan
dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan
menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang.
Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan
secara konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita
yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti
itu mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif hanya
dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan
janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi
ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan
preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap
wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan
persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia
kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan dapat
ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika
usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk
terminasi kehamilan.
Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan
preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti
ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam
waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi
dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi
biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli
menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang
lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari
terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak
lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak
lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan
preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg
bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20
mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang
diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit
kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat
diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan
hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam
terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin
dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan
kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada hidralazin.
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam
mengontrol hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan
berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan.
Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin
dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol
oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak
60-125 ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare,
diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang
biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal
mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak.
Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah
ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara
cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat
menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko
terjadinya edema pulmonal atau edema otak.
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal
dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama
karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga
pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade simpatis dapat
menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika teknik analgesi
telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk
memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita
preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural
menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah
tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema
pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik metode
anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara
seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan
dengan pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan
tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam
mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan
hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi.
Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2,
yaitu :
a.
Indikasi ibu
-
Usia kehamilan ≥ 38
minggu
-
Hitung trombosit
< 100.000 sel/mm3
-
Kerusakan progresif
fungsi hepar
-
Kerusakan progresif
fungsi ginjal
-
Suspek solusio
plasenta
-
Nyeri kepala hebat
persisten atau gangguan penglihatan
-
Nyeri epigastrium
hebat persisiten, nausea atau muntah
b.
Indikasi janin
- IUGR berat
- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring
- Oligohidramnion.
BAB III
KESIMPULAN
Faktor risiko pada preeklamsi dapat dibagi menjadi 3
bagian, yaitu faktor risiko maternal, faktor risiko medikal maternal, dan
faktor risiko plasental atau fetal.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi
adalah invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi
imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan
kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan
pengaruh genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai
110 mmHg. Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan
diastolik menjadi 90-100 mmHg.
DAFTAR PUSTAKA
- Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808
- Mariam siti, Makalah pre-eklampsia, 14 april 2013, diakses tanggal 27 juni 20013 dari, http://sitimaryamhsb.makalah-pre-eklamsia.html
- Gopar adul, pdf.Preeklampsi, 12 mey 2012, diakses tanggal 27 juni 2013 dari, http://adulgopar.files.wordpress.com/preeklampsia.pdf
- Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
Tidak ada komentar:
Posting Komentar